Mari bercerita tentang suatu hari di masa depan.
Hari yang perlahan akan datang.
Aku membayangkan saat itu, aku duduk disebuah kursi kayu. Diteras dari rumah sederhana baik bentuk dan ukurannya. Dengan sebuah halaman yang tidak begitu luas. Tapi cukup hijau dengan bunga dan rerumputan. Disamping tempatku duduk ada sebuah meja bulat dengan secangkir kopi diatasnya. Meja itupun terbuat dari kayu. Yang ku buat dengan tanganku sendiri. Tak begitu bagus memang. Tapi bukankah yang paling penting dari sebuah benda adalah fungsinya ?
Disamping meja bulat itu ada satu lagi kursi kayu. Seorang wanita duduk disitu membaca buku. Itulah kamu. Kita duduk bersebelahan memandang halaman. Dengan jeda meja bulat itu. Mengapa hanya ada secangkir kopi ? Karena kau boleh memilih minumanmu sendiri. Mungkin itu teh , susu atau segelas air putih. Begitu juga yang kau baca saat itu. Bisa saja sebuah buku cerita, majalah atau buku resep masakan. Atau mungkin kau sedang meng-koreksi tulisanmu sendiri. Karena aku selalu suka pada wanita yang pandai menulis. Untukku , cukuplah sesekali menatap dan menikmati wajah tenangmu itu.
Mengapa sesekali ? Karena kau tahu bahwa aku harus lebih sering melihat kedepan. Yah,.. karena ada “bocah – bocah” kecil yang sedang bermain di halaman. Masalahnya kemudian adalah berapa jumlah mereka ? Inilah yang sebelumnya harus kita diskusikan. Munkin jumlah ideal adalah tiga. Walau aku selalu ingin punya anak lima. Tapi aku tak akan memaksamu dengan inginku. Kau yang memutuskan . lalu semuanya kita serahkan pada Tuhan.
Mungkin kau bertanya . mengapa aku ingin punya banyak anak ? Sejujurnya aku tak punya jawaban. Aku hanya merasa bahwa itu akan menyenangkan. Sebanding dengan kerepotan yang akan ditimbulkan. Aku hanya berfikir seberapapun anak yang kita miliki. Kita hanya perlu keikhlasan. Lalu berusaha memastikan bahwa mereka cukup memperoleh perlindungan, makan, pakaian, hiburan dan pendidikan. Soal rezeki bukankah sudah ada yang mengatur. Bila kita bersungguh – sungguh mencari. Tuhan pasti akan memudahkan.
Kembali ke halaman. Para bocah masih berlarian dengan gembira. Menikmati minggu sore yang cerah. Sesekali terdengar teriakan dan tawa dari bibir mungil mereka. Sungguh indah melihatnya. Mereka akan tumbuh besar melalui tangan kita. Kita harus selalu berdo’a, semoga segala kebaikan menyertai jalan hidup mereka.
Senja perlahan turun. Aku berpaling menatap kearahmu. Saat itu pun kau sedang menatapku. Kita lalu berbagi senyuman yang sama. Kau berdiri mengambil gelas – gelas di meja lalu membawanya kedalam. Aku mengerti. Akupun berdiri , lalu berseru memanggil anak – anak kita. Nama mereka mungkin nanti adalah Umar, Aisyah dan Ali. Tapi itupun aku harus meminta dulu persetujuanmu.
Aku menuntun mereka mengajak membersihkan diri. Hari mulai gelap dan maghrib akan segera tiba. Aku selalu berharap bahwa kita bisa menjadi keluarga yang selalu dekat dengan Tuhan. Walau aku tahu itu tidak lah mudah untuk dilakukan. Aku akan mengajak anak laki – laki kita ke mesjid. Dan kau melakukannya di rumah dengan gadis kecil kita. Sungguh indah ,…!
Bila hidup seperti itu yang bisa ku jalani. Aku tidak perduli. Bila nantinya aku hanya jadi seorang petani. Dan kau hanya seorang ibu rumah tangga. Juga aku tak masalah bila karenanya harus melewatkan begitu banyak kesenangan dunia. Aku bersedia untuk menjalani hari – hari yang setiap hari sama. Membosankan dan kurang berwarna. Karena mimpiku adalah hidup sederhana. Bila kau tidak suka yang seperti itu. Maka aku hanya perlu memastikan, bahwa bukan kau wanita yang akan duduk di kursi itu.
Perlahan aku tutup pintu. Dan disini aku menunggu hari itu.